Jakarta, CNN Indonesia —
Sebanyak 41 daerah dipastikan hanya memiliki satu pasangan kandidat kepala daerah atau kandidat tunggal pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024. Kondisi ini terjadi setelah Penyelenggara Pemungutan Suara menutup perpanjangan masa pendaftaran pada 4 September 2024.
Puluhan daerah kandidat tunggal itu terdiri dari satu provinsi Didefinisikan sebagai Papbar dan 35 kabupaten dan lima kota. Alhasil, para paslon di daerah itu Akan segera melawan kotak kosong saat hari pemungutan suara yang digelar pada 27 November 2024.
Angka kandidat tunggal di Pemilihan Kepala Daerah 2024 ini melonjak dibandingkan pada Pemilihan Kepala Daerah 2020 lalu sebanyak 25 Kabupaten/kota. Sementara pada Pemilihan Kepala Daerah 2018 lalu terdapat kandidat tunggal di 13 daerah dan sembilan kandidat tunggal di Pemilihan Kepala Daerah 2017.
Perundang-Undangan Pemilihan Kepala Daerah mengatur paslon tunggal Dianjurkan mengumpulkan lebih dari 50 persen suara untuk menang dari kotak kosong. Hal itu diatur pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Manakala paslon tunggal gagal meraih 50 persen suara sah, maka kotak kosong yang menang. Manakala kondisi itu terjadi, Perundang-Undangan Pemilihan Kepala Daerah mengatur Pemilihan Kepala Daerah hanya bisa diulang di Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya.
Untuk mengisi kekosongan jabatan, pemerintah menunjuk ASN sebagai penjabat (Pj.) kepala daerah sesuai peraturan perundang-undangan.
Pengajar Hukum Pemilihan Umum di Universitas Indonesia Titi Anggraini memotret masih banyaknya kandidat tunggal di Pemilihan Kepala Daerah serentak 2024 lantaran terus berlangsungnya hegemoni dan penetrasi pencalonan oleh Partai di tingkat nasional ke lokal.
Titi mengatakan kondisi kandidat tunggal ini terjadi sebetulnya bukan karena persoalan demokrasi di tingkat lokal, melainkan justru diciptakan oleh para Partai di tingkat nasional.
“Kehadiran kandidat tunggal ini hegemoni dan dominasi pencalonan oleh elite politik di tingkat nasional. kandidat tunggal itu Merupakan ekses dari agenda elite nasional. Yang kemudian dipenetrasi melalui rekomendasi DPP yang hanya menghasilkan kandidat tunggal,” kata Titi dalam sebuah webinar yang digelar oleh The Constitutional Democracy Initiative, Minggu (8/9) kemarin.
Titi mengungkap terdapat perbedaan karakter kandidat tunggal yang terjadi di Pemilihan Kepala Daerah 2015 dan pasca Pemilihan Kepala Daerah 2015 Sampai Pada Saat ini Bahkan.
Karakter kandidat tunggal di Pemilihan Kepala Daerah 2015 lalu, kata Titi, dilakukan untuk Menyediakan akses pencalonan kepada partai dan menyelamatkan hak pilih warga.
Sementara karakter kandidat tunggal di Pemilihan Kepala Daerah pasca 2015 Sampai Pada Saat ini Bahkan terjadi karena praktik memborong tiket Partai terjadi begitu masif lantaran ada hegemoni oleh keputusan pusat partai.
“kandidat tunggal pasca 2015 Hari Ini kandidat tunggal menjadi pola memborong dukungan mayoritas partai. Ada 12 partai, 13 partai, 15 partai. Bahkan ada yang 18 partai begitu,” kata Titi.
“Jadi agak berbeda nih. kandidat tunggal awalnya untuk menyelamatkan, justru untuk menutup keran pencalonan Hari Ini,” tambahnya.
Titi kemudian melihat hegemoni partai di tingkat pusat melalui rekomendasi dari DPP itu Pernah terjadi memicu ketidakpuasan warga terhadap kandidat kepala daerah yang diusung di Sebanyaknya daerah. Sebab, warga menilai ada keterputusan aspirasi.
Ia mencontohkan ada keterputusan aspirasi warga dan Partai ini terjadi dalam Pemilihan Kepala Daerah Jakarta dan beberapa daerah lain. Imbasnya, muncul ekspresi ketidakpuasan warga dengan adanya gerakan mencoblos semua kandidat.
“Di Jakarta ada Anies Baswedan, dan Ahok. Kok, yang dicalonkan lain? Apalagi diimpor dari gubernur provinsi sebelah. Nah, itu yang menjadi problem,” katanya.
“Lalu Bahkan di daerah-daerah kandidat tunggal mulai ada tuh gerakan tandingan. Mendaftarkan kotak kosong setelah si kandidat tunggal didaftarkan,” tambahnya.
Kaderisasi gagal
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Kearifan Lokal (FISIB) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam mengatakan maraknya paslon tinggal di Pemilihan Kepala Daerah serentak menunjukkan Partai gagal mencetak pemimpin di tingkat lokal padahal Sebelumnya dipermudah oleh putusan MK (MK).
MK sebelumnya memutuskan partai yang tidak memperoleh kursi DPRD tetap bisa mengusung paslon selama memenuhi syarat persentase yang dihitung dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT).
Aturan baru ini mengubah aturan sebelumnya yang mensyaratkan pasangan kandidat kepala daerah Dianjurkan diusung Partai atau gabungan partai dengan perolehan 25 persen suara atau 20 persen kursi DPRD.
“Ini aneh bin ajaib menurut saya. Tidak ada maknanya Partai kalau tidak mampu menghasilkan kader yang Terunggul untuk ditarungkan di Pemilihan Kepala Daerah padahal Sebelumnya dipermudah MK,” kata Surokim, Senin (9/9).
Surokim menjelaskan prinsip utama Partai merupakan tempat berhimpun menyiapkan kader-kader sebagai pemimpin. Ia menilai fungsi Partai menjadi anomali Manakala tak mengusung kadernya sendiri maju di kontestasi politik daerah.
“Kalau kemudian mereka hanya menjadi pemandu sorak Pemilihan Kepala Daerah, menjadi cheerleaders Pemilihan Kepala Daerah, untuk apa Pada dasarnya mereka berhimpun itu?” kata Ia.
Di sisi lain, Surokim melihat faktor paslon tunggal dapat hadir lantaran Partai ogah melawan kandidat petahana yang terlampau kuat di suatu daerah. Baginya, kandidat petahana ini memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan memborong Partai untuk mengusung dirinya maju kembali.
“Bayangkan seperti kelas Surabaya itu 18 Partai. Tidak ada satupun yang keluar Itu. Partai-Partai itu Kesimpulannya kemudian realistis Karena daripada gambling, kalah mending dapat sharing power dari Membantu incumbent Itu,” kata Ia.
(rzr/gil)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA