Jakarta, CNN Indonesia —
Alarm deindustrialisasi terus memekakkan telinga, mulai dari sektor tekstil Sampai saat ini keramik.
Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat Sebelumnya ada 13.800 buruh tekstil terkena pemutusan hubungan kerja (Pengurangan Tenaga Kerja). Data ini dihimpun sejak Januari 2024 Sampai saat ini awal Juni 2024.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) malah sibuk saling menyalahkan dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 dianggap Kemenperin sebagai biang kerok Produk Impor tekstil makin menggila.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan tegas membantah tudingan Kemenperin. Ia mengklaim beleid itu masih mengandung pertimbangan teknis (pertek) untuk produk tekstil dan produk tekstil (TPT).
“Jadi, kalau tekstil mengatakan kita bangkrut karena Permendag 8, ya enggak benar karena itu (pertek) enggak dihapus. Pertek TPT tetap ada. Yang tambahan-tambahan baru itu yang dihapus, misalnya bedak dan macam-macam,” kata Zulhas dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI, Senin (8/7).
Di lain sisi, Ekonom Senior INDEF Faisal Basri mengatakan gejala dini deindustrialisasi terus menguat. Ia Bahkan menyindir kinerja Menperin Agus Gumiwang yang tak terlihat mengurus industri. Padahal, sektor industri Tanah Air tengah limbung alias goyah.
“Banyak perusahaan bangkrut, bukan hanya keramik. Banyak yang bangkrut, tekstil bangkrut. Belum bisa pulih dari Pandemi, program restrukturisasinya Sebelumnya selesai, yang ndak bisa restrukturisasi ya Sebelumnya Ia bangkrut, dijual,” tuturnya dalam Diskusi Publik di Jakarta Selatan, Selasa (16/7).
“Bukan hanya di keramik. Orang menterinya (Menperin Agus Gumiwang) sibuk kampanye, petinggi Golkar, mana ngurusin? Anda pernah dengar menteri perindustrian bikin pernyataan? Jarang Ia, Mungkin sekali gak semua Anda tahu nama menteri perindustrian siapa,” tambahnya.
Lantas, apa itu deindustrialisasi dan bahayanya untuk Indonesia?
Laporan INDEF pada 2023 lalu menyebut deindustrialisasi sebagai penurunan kontribusi sektor industri pengolahan non-migas terhadap produk domestik bruto (PDB). Potret deindustrialisasi ini tercermin dari lesunya porsi industri pengolahan atau manufaktur terhadap perekonomian Indonesia dari tahun ke tahun.
Gejala ini Kenyataannya wajar dialami negara maju. Pasalnya, mereka Sebelumnya bertransformasi Ke arah perekonomian yang berbasis di sektor jasa.
“Meskipun demikian demikian, bagi Indonesia, deindustrialisasi dirasakan lebih Mudah dari yang diharapkan atau lazim disebut deindustrialisasi prematur. Trend Populer ini digambarkan ketika industri pengolahan belum bekerja maksimal, tetapi kontribusinya di dalam ekonomi semakin menurun,” jelas laporan tersebut, dikutip Rabu (17/7).
Tanda-tanda deindustrialisasi diklaim Sebelumnya dirasakan sejak 2002. Bahkan, penurunan kontribusi sektor industri terjadi paling Mudah mulai 2009.
Pada Pada intinya, tenaga kerja Indonesia makin berkurang di sektor industri. Kontribusi pekerja industri pengolahan turun Sampai saat ini 3,47 persen selama lima tahun terakhir, dari 2018-2022.
“Penurunan ini lebih tajam Manakala dibandingkan pekerja di sektor pertanian yang turun hanya 1,24 persen. Berbeda dengan, bagi sektor perdagangan terdapat kenaikan 4,19 persen selama lima tahun terakhir,” catat INDEF.
Sementara itu, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI mengatakan deindustrialisasi membuat pertumbuhan perekonomian Indonesia kurang maksimal. Pada Pada intinya, Peningkatan Ekonomi mandek di level 5 persen.
“Sepanjang era Pemimpin Negara Megawati Sampai saat ini Pemimpin Negara Joko Widodo, sektor manufaktur di Indonesia secara konsisten menyusut dan tumbuh di bawah laju pertumbuhan PDB nasional,” tulis LPEM UI dalam Laporan Proyeksi Kuartal I 2024, dikutip dari CNBC Indonesia.
Pada 2019 lalu, Kementerian Perindustrian sempat membantah klaim adanya deindustrialisasi yang dilontarkan Prabowo Subianto. Kemenperin mencatat deindustrialisasi bisa dibenarkan Manakala kontribusi manufaktur ke PDB terus menurun drastis.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian Indonesia tumbuh 5,11 persen secara year on year (yoy). Besaran PDB atas dasar harga berlaku di kuartal I 2024 mencapai Rp5.288,3 triliun.
Industri pengolahan menyumbang 19,28 persen terhadap PDB. Kontribusinya dalam harga berlaku mencapai Rp1.019,6 triliun.
Sumbangan sektor manufaktur ini tercatat tumbuh dibandingkan kuartal IV 2023 sebesar 19,08 persen. Catatan ini Bahkan naik Manakala dibandingkan periode sama di 2023 yang hanya menyumbang 18,67 persen.
(skt/pta)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA