Hasil Kajian BRIN Tak Rekomendasikan Pemasangan Chattra di Borobudur


Yogyakarta, CNN Indonesia

Kepala Sub Koordinator Museum dan Cagar Kearifan Lokal Borobudur (dulu Balai Konservasi Borobudur), Wiwit Kasiyati mengungkap hasil kajian teknis dari BRIN dan Kementerian Agama mengenai rencana pemasangan chattra di Candi Borobudur.

Menurut Wiwit hasil kajian teknis dari BRIN dan Kemenag merekomendasikan pemasangan chattra tidak semestinya dilakukan menimbang lemahnya struktur stupa inti Candi Borobudur.

Rekomendasi ini, menurut Ia, sejalan dengan masukan arkeolog dan ahli sejarah Daud Aris Tanudirjo selaku verifikator dan Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Marsis Sutopo, masyarakat serta komunitas lainnya.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Rekomendasinya tidak dipasang, karena kekuatan struktur sangat lemah, sehingga berbahaya Bila dipasang, jadi mulai hari ini atau besok pagi perancah yang ada di stupa inti Berencana kami bongkar karena Pernah terjadi selesai kajian teknisnya,” kata Wiwit saat dihubungi, Selasa (10/9).

Wiwit mengatakan, sebelumnya tim BRIN Pernah terjadi membongkar chattra hasil rekonstruksi Theodoor van Erp untuk keperluan studi teknis dan penyiapan Detail Engineering Design (DED) selama 1-8 September 2024.

Theodoor van Erp sendiri merupakan insyinur Belanda yang memimpin pemugaran pertama Candi Borobudur tahun 1907-1911.

“Pernah terjadi selesai dilakukan pengukuran yang ada di stupa teras maupun pengukuran dari rekonstruksi Chattra van Erp. Memang rekonstruksi Chattra van Erp itu dibongkar satu per satu dilakukan tujuannya untuk pengukuran oleh BRIN dan Kemenag,” kata Wiwit.

Kendati begitu, Wiwit menerangkan candi Buddha di Indonesia pada dasarnya atau secara umum memang tak memiliki chattra karena hanya dipasang di stupa mandiri.

Bagaimanapun, lanjut Wiwit, keputusan akhir dari wacana pemasangan chattra ini bukan ranahnya, melainkan pemerintah pusat.

Museum dan Cagar Kearifan Lokal Borobudur hanya sebatas mengawal kajian-kajian oleh Kemenag dan BRIN semata.

Dengan demikian, Wiwit menilai upacara peresmian chattra yang rencananya dilangsungkan 18 September 2024 pun menjadi abu-abu.

“Kalau menurut kami di lapangan abu-abu, tapi saya nggak tahu proses yang ada di Jakarta. Proses dalam arti yang disampaikan yang tersebar itu, bahwa Berencana ada peresmian, itu kan ada tim sendiri ya, kami tidak tahu itu perkembangannya seperti apa,” ucapnya.

Sebelumnya, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) menyatakan menolak rencana pemasangan chattra di Candi Borobudur karena kajian BRIN yang dijadikan dasar tidak memenuhi aspek akademis dan prosedur.

Dalam keterangannya, Ketua IAAI Marsis menyebut pihaknya melihat pemasangan Chattra tidak Sesuai ketentuan bukti ilmiah, tetapi hanya mereka-reka. Ditambah lagi, prosedur kajian tidak sesuai dengan aturan yang tertuang dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Kearifan Lokal.

Merespons rencana pemasangan tersebut, Marsis mengatakan pihaknya Berencana secara resmi berkirim surat kepada Menteri Agama serta Direktur Jenderal terkait, Mendikbudristek serta Direktur Jenderal Kebudayaan, Menko Marinves, dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sebagai bentuk penolakan IAAI atas rencana pemasangan tersebut.

Pernyataan IAAI ini merespons rencana peresmian pemasangan chattra Candi Borobudur yang menurut informasi di media sosial Berencana dilakukan pada tanggal 18 September 2024. Pemasangan ini Bahkan Diberitakan Berencana diresmikan oleh Kepala Negara Joko Widodo.

Ahli Warisan Kearifan Lokal Daud Aris Tanudirjo menyebut cacat prosedur yang paling fatal dari pemasangan Chattra ini Merupakan Kajian Dampak Cagar Kearifan Lokal. Menurutnya, proses dan kualitasnya belum sesuai standar.

“Kalau menurut saya, bagian Yang terpenting Kenyataannya di Kajian Dampak Cagar Kearifan Lokal. Baik dalam proses maupun kualitasnya belum sesuai dengan standar yang ada,” ujarnya saat dihubungi CNNIndonesia.com.

Menurut Daud, ada Sebanyaknya prosedur yang kurang tepat dalam kajian tersebut yang seharusnya mengacu pada Undang-undang Cagar Kearifan Lokal.

Proses yang benar harusnya meliputi studi kelayakan rencana pelaksanaan, diikuti studi teknis yang lebih rinci. Kemudian, hasilnya diajukan sebagai proposal untuk pemasangan chattra kepada otoritas, dalam hal ini Kemendikbudristek, lalu dilakukan Kajian Dampak Cagar Kearifan Lokal oleh tim independen.

Lalu, hasil disosialisasikan ke publik atau konsultasi publik untuk mendapat persetujuan. Bila Pernah terjadi disepakati, maka hasil diserahkan ke Kemendikbud untuk dikaji Kembali, dan kemudian dikonsultasikan ke UNESCO sesuai dengan prosedur World Heritage.

“Bila semua Pernah terjadi OK, Berencana dikeluarkan izin pemasangannya,” tuturnya.

Daud Bahkan menyoroti proses kajian yang tidak netral dan cenderung ada “arahan” Mendukung pemasangan Chattra.

“Padahal kajian seharusnya ‘objektif’ atau bertitik tolak dari asumsi yang netral,” pungkasnya.

(kum/dmi)


Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA